Minggu, 23 Agustus 2009

Pejabat “Kanak-kanak”

Oleh Said Achmad Kabiru Rafiie

18 August 2009, 08:23 Opini Administrator

PILAR dan urat-nadi pembangunan memang sangat ditentukan ketersedian infrastruktur yang memadai.Sarana jalan, misal, yang menjadi penghubung antarwilayah, dan masyarakat dapat memacu ekonomi untuk meraih kesejahtraan lebih baik. Di eropa, seperti Amerika, sarana jalan menjadi sektor palin vitas bagi perekonomian negara itu.

AS mampu mempertahankan inflasi, karena tranportasi mampu membawa hasil panen ke seluruh pelosok Amerika dengan mudah dan murah. Ketika Henry Ford membangun perusahan industry mobil di Detroit, Michigan, Amerika di tahun 1903, dan sebagai seorang entrepreneur yang menimpikan setiap orang di Amerika akan memiliki mobil. Untuk mengantipasi lonjakan permintaan mobil, pemerintah Amerika segera membangun jalan yang menghubungkan utara dan selatan Amerika. Karena pemerintah percaya bahwa mobilisasi penduduk yang tinggi akan membawa keuntungan secara ekonomi.

Pascasmong 26 Desember 2004 di Aceh, banyak infrastruktur hancur. Di antaranya jalan negarajalur Banda Aceh--pantai bara-selatan. Jalan ini merupakan penghubng sangat vitas dari wilayah itu ke ibukota provinsi Aceh. USAID dan JICA yang membantu pembangunan sarana jalan jalur pantai barat-selatan, belum diikuti peran pemerintah Aceh secara serius. Misal, dalam proses pembebasan tanah dan administrasi lainnya. Sehingga sudah empat tahun proses pembangunannya, belum sesuai dengan harapan masyarakat wilayah itu. Imbasnya roda perekomian masyarakat sangat tertinggal, harga kebutuhan pokok dan harag barang yang jauh lebih mahal dari daerah lain terutama di pesir Utara-Timur Aceh. Inilah yang memicu uring-uringan seorang bupati Aceh Jaya (baca Serambi, 16 Agustus 2009).

Sekian kali permintaan masyarakat pantai barat-selatan agar pemerintah Aceh serius mempercepat pembangunan infrastruktur di wilayah itu, dan beberapa kali dilansir media, terutama Serambi Indonesia, seperti ambruknya jembatan Bailey (jembatan darurat yang dibangun oleh bakti TNI tahun 2005), dan sejumlah masalah lain yang tidak ditanggapi pemerintah Aceh.

Agaknya itu puncak kekesalan Bupati Aceh Jaya yang menuntut keseriusan pemerintah provinsi. Sebab fakta di lapangan menunjukan bahwa Aceh Jaya dan Aceh Barat adalah wilayah yang paling parah terkena dampak tsunami. Namun paling minim perhatian dari pemerintah Aceh. Dalam kaitan itu, maka sudah saatnya marjinalisasi pembangunan terhadap masyarakat di pesisir barat-selatan itu di akhiri. Ini harus dibuktikan gubernur Aceh, Irwandi, bukan dengan membalas emosi, mengatakan bupati “kekanak-kanakan”. Akan tetapi harus membuktikan bahwa pembangunan di wilayah barat Aceh sama porsinya dengan wilayah utara dan timur. Sehingga kesan wilayah barat-selatan itu “dianaktirikan” bisa terhapus dan dibangun bukan cilet-cilet. Di sini perlunya, kepekaan pimpinan daerah untuk mendengarkan keluh kesah rakyatnya.

Jalan utama jalur Banda Aceh--Meulaboh sepanjang 237,34 kilometer (sumber: ARF 24/01/07). Artinya, jika masalah ini tidak ditangani dan makin berlarut-larut, imbasnya akan lebih besar karena masyarakat semakin menderita. Buruknya kondisi jalan Meulaboh-Banda Aceh mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Seperti sulitnya pengiriman barang ke wilayah itu, sulitnya mobilitas penduduk, sulitnya akses informasi, serta tidak menariknya investor melihat wilayah barat.

Keterlambatan pembangunan jalan ini juga ikut berdampak pada social serta kemasyarakatan. Di antaranya, sulit melakukan silaturahmi apabila ada hajatan keluarga di daerah barat, karena untuk mencapai Meulaboh dari Banda Aceh harus menempuh waktu delapan jam lebih. Sedangkan sebelum bencana smong hanya ditempu selama lima jam. elum lagi sektor kesehatan, terutama penduduk yang tinggal dipesisir jalan, sangat rentan terkena TBC atau penyakit asma dari kegiatan rekontruksi yang sangat tidak sehat akibat debu.

Berbagai janji untuk mempercepat pembebasan tanah, mempercepat pembagunaja jalan dan jembatan telah disampaikan, janji hanya tinggal janji. Banyak tim yang telah turun ke lokasi, namun belum membuktikan realisasinya. Fakta masyarakat harus menggunakan rakit untuk bisa menyeberang. Alat tranportasi tahun 1960-1970an itu sudah berhasil dihilangkan ketika Ibrahim Hasan menjabat Gubernur Aceh. Haruskanh kisah rakit ini akan berlaku lagi di masa gubernur Irwandi. Itu artinya, Aceh justru mundur. Masyarakat pantai barat-selatan tampaknya harus banyak menahan sabar. Atau bagaimana sebaiknya, wallahu a’lam bisshawab.

* Penulis adalah mahasiswa Master Economics Texas A&M University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar